Kamis, 30 Oktober 2008

Modernisasi Perikanan

Pembangunan nasional yang dilaksanakan negara berkembang sejak pasca Perang Dunia Kedua, mempunyai perbedaan prinsipil yang dilandasi falsafah, strategi maupun kebijakannya. Namun demikan, pembangunan itu secara global merupakan suatu proses kegiatan yang terencana dalam upaya pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa guna peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. Portes (1976) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial, politik, infrastruktur/fisik dan budaya.

Salah satu paradigma pembangunan yang banyak dianut adalah paradigma modernisasi. Agen pembangunan internasional dan pemerintah negara berkembang, menjadikan paradigma ini sebagai acuan otoritatif di dalam mana ia dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia sejak tahun 1966, dalam proses pembangunannya, paradigma ini juga turut merasuk ke hampir semua sektor kehidupan (Sasono, 1980), termasuk dibidang perikanan dan kelautan (revolusi biru). Istilah revolusi biru (modernisasi perikanan) merupakan turunan dari revolusi hijau pada sektor pertanian, yang awal mulanya dilakukan melalui introduksi teknologi baru dalam kegiatan perikanan (motorisasi dan inovasi alat tangkap).

Secara teoritis modernisasi yang terjadi melalui kapitalisasi (peningkatan arus modal dan teknologi), akan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial masyarakat. Peningkatan kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dengan posisi baru dalam struktur sosial masyarakat akan memainkan peranan-peranan sosial tertentu sesuai dengan tuntutan statusnya. Struktur-strukrur yang baru ini membawa sejumlah implikasi. Biersted (1970) mengemukakan tiga pokok pemikiran berkaitan dengan hal tersebut, yaitu (1) pembagian kerja merupakan wujud adanya bentuk pelapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat; (2) pembagian kerja menghasilkan ragam posisi atau status dan peranan yang berbeda; dan (3) pembagian kerja sebagai fungsi dari besar kecilnya ukuran masyarakat, semakin besar ukuran masyarakat, pembagian kerja pun semakin nyata. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat dapat berubah setelah adanya modernisasi.

Relevansi yang menunjukkan adanya pengaruh modernisasi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat telah banyak dipublikasikan. Namun studi-studi tersebut, kebanyakan masih bertumpu pada kasus masyarakat agraris dimana pertanian padi-sawah dominan, seperti yang dilakukan Hayami dan Kikuchi (1987), Frans Huskens (1998), Collier et.all (1996), dan lainnya. Pada umumnya menjelaskan bahwa, masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah telah mengalami modernisasi namun masih merupakan representasi masyarakat dengan cara produksi sederhana atau bahkan komersial dimana cara produksi kapitalis yang padat teknologi serta industri pedesaan belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum terlalu tinggi. Sementara untuk studi sosiologi dengan mengambil kasus ekologi pantai dan pulau-pulau kecil dimana perikanan tangkap merupakan ciri utama belum banyak dilakukan di Indonesia[1]. Studi ini sangat penting artinya, karena pesisir dan lautan telah menjadi sumber pertumbuhan baru ekonomi yang berbasis sumber daya (resources based economy).

Konteks faktual mengenai implikasi modernisasi perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan, dapat digambarkan baik secara makro maupun mikro. Secara makro, sebelum program modernisasi diluncurkan nelayan belum terlalu terstratifikasi dalam struktur sosial masyarakat, karena pola produksi mereka masih bersifat homogen, dimana penguasaan alat produksi berupa alat penangkapan dan perahu masih dijadikan dasar stratifikasi. Dengan belum berkembangnya alat produksi perikanan pada waktu itu, masyarakat nelayan hanya terdiri dua lapisan, yakni; lapisan yang menguasai alat produksi berupa perahu dan alat tangkap tradisional (punggaha) dan sahi (lapisan yang tidak menguasai alat produksi dan bekerja pada punggaha)[2]. Sistem produksi bersifat subsisten dan pola hubungan yang egaliter. Namun seiring dengan masuknya program modernisasi perikanan, seiring pula terjadinya perubahan dalam struktur sosial masyarakat, karena ; (1) munculnya organisasi-organisasi sosial baru dengan beragam tujuan dan kepentingan, yang selanjutnya menyebabkan; (2) munculnya profesi-profesi (vocations) baru akibat tumbuhnya industri pengolahan perikanan (cold stroge), industri pengasinan, industri perbengkelan perahu, pasar perikanan (tempat pelelangan ikan); (3) adanya perubahan dalam kelembagaan kerja usaha penangkapan; (4) perubahan sistem produksi yang dulunya subsisten menjadi tata produksi yang bersifat komersil maupun kapitalis, dan; (5) masih bertahannya sebagian kecil nelayan tradisional dan post-tradisonal[3]. Strukturisasi dalam usaha penangkapan mengalami pula perubahan kelembagaan kerja sebagai penyesuaian meningkatnya teknologi penangkapan yang ada.

Pada tingkatan analisis mikro, kehadiran modernisasi perikanan melalui berbagai bentuk inovasi teknologi menciptakan konfigurasi cara produksi (mode of production) dalam formasi sosial (social formation) dalam masyarakat, berupa hadirnya dua atau lebih cara produksi secara bersamaan dan salah satu cara produksi mendominasi cara lainnya (Budiman, 1995). Konsep pokok cara produksi atau cara berproduksi (mode of production) terdiri dari kekuatan produksi berupa gabungan dari alat produksi (means of production) dan hubungan-hubungan produksi (relation of production). Salah satu kasus yang diteliti oleh Khan (1975), tentang kehadiran lebih dari dua mode of production pada satu masyarakat yang sama tentang pengrajin logam menyimpulkan bahwa cara produksi dikalangan peasant akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkup sosial yang lebih besar, bervariasi mengikuti a particular set of historical conditions; maka bervariasi mengikuti interaksi dengan cara produksi lain yang peredarannya lebih dominan. Sementara Taylor (1979), menegaskan bahwa formasi sosial yang terbentuk akan mengalami suatu artikulasi cara produksi dalam arti terjadinya koeksistensi ciri kapitalisme dan prakapitalisme yang dipengaruhi oleh suatu konteks budaya berdasarkan karakteristik daerah atau wilayah.

Dalam tataran kebijakan, sejarah paradigma pembangunan perikanan di Indonesia, sangat terkait dari perspektif rezim pemerintahan yang berkuasa dalam menerapkan kebijakan politik ekonominya. Secara periodesasi kebijakan dan keberpihakan pemerintah di sektor ini dapat dilihat dalam empat masa rezim pemerintahan. Pertama, masa kolonial, regulasi Kustvisscherij Ordonantie 1927, Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 dengan pengaturan batas laut teritorial sejauh 3 mil laut dari pantai dan Staatsblad 1916 dimana hak tradisional pengelolaan wilayah laut dapat diwariskan tetapi tidak dapat dipindahtangankan. Subtansinya menunjukkan bahwa, meskipun regulasi ini di buat oleh pemerintahan kolonial, namun legitimasi hak tradisional dalam mengelola sendiri lautnya konsisten dihormati (Nur Indar, 2003). Kedua, masa Orde Lama (1945 – 1966) fokus kebijakan kepada upaya pengakuan terhadap dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (Deklarasi Djuanda tahun 1957), di mana laut dimaknai sebagai penghubung antar pulau, bukan pemisah. Klaim ini, bersifat menunjukkan sikap kamandirian politik saja terhadap teritorial negara kita akan kepentingan dunia barat khususnya Amerika Serikat dan sekutunya tanpa bermaksud melakukan pembangunan disektor perikanan dan kelautan sebagai negara kepulauan (Kusumaatmaja, 2005). Fokus kebijakan ekonomi pada masa itu adalah pengelolaan warisan di sektor perkebunan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial melalui nasionalisasi perusahaan asing tahun 1963 (Sasono, 1980). Ketiga, masa Orde Baru (1966 – 1989), model teori pertumbuhan ekonomi yang dijalankan lebih melihat kepada peranan modal sebagai faktor yang paling menentukan dan modernisasi harus diterapkan melalui industrialisasi dengan asumsi trickle down process[4]. Penerimaan bantuan melalui peminjaman dan penanaman modal asing (PMA) terus digalakkan (Sasono, 1980). Ironisnya, meskipun telah diakui sebagai negara kepulauan melalui UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982, tetapi sektor perikanan dan kelautan hanya dijadikan sebagai sektor penunjang dari sektor agraris bukan menjadi arus utama (mainstream) kebijakan pembangunan ekonomi nasional (Kusumaatmaja, 2005), sehingga dalam pengelolaannya memperlihatkan tiga ciri yang menonjol, yaitu; sentralistik, anti-pluralisme dan common property. Konfigurasi politik semacam itu, melahirkan tumpang tindih kewenangan (ego-sektoral), dan nelayan tradisional yang sejatinya sebagai target pembangunan justru termajinalkan (Nur Indar, 2003). Keempat, masa Reformasi (1989 – sekarang), mengacu pada kondisi proses trasformasi struktur ekonomi yang dilaksanakan pada masa lalu tidak tepat dan kurang mulus (smooth), maka melalui Undang-undang Otonomi Daerah (No. 22/1999) dan pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 1999, telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan dari sentralistik ke desentralistik. Re-orientasi kebijakan pembangunan yang lebih memfokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advatanges), maka sektor ini (kelautan dan perikanan) membuka lembaran baru khususnya dalam pengembangan potensi dan penanganan masalah yang telah fokus dan tertangani oleh departemen tersendiri DKP.

Namun demikian, kebijakan-kebijakan strategis yang telah dilakukan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan, fenomenanya masih menyisahkan “sejumlah persoalan”. Simbol masyarakat nelayan yang “terpinggirkan, miskin, terisolasi, kumuh, kurang berpendidikan” masih tetap saja menjadi atribut bagi komunitasnya, disertai dengan minimnya sarana infrastruktur yang tersedia menggambarkan sebuah “masyarakat yang terkucilkan”. Kondisi ini memperlihatkan bahwa modernisasi perikanan atau blue revolution yang telah berlangsung dan dikembangkan sampai saat ini, belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan (menguntungkan) khususnya kepada nelayan kelas grassroot. Malah modernisasi perikanan menjadi sebuah persoalan baru yang harus dihadapi. Beberapa hasil penelitian telah mempublikasikan fenomena ini, seperti; Suyanto (1993) di daerah Pantura, ditemukan bahwa sejak terjadi modernisasi perikanan, kehidupan nelayan menjadi terbelah, 69,2% nelayan yang memiliki modal cukup, dengan kehadiran teknologi perikanan telah membuat kondisi ekonominya bertambah baik dan hanya 5,1 persen yang mengaku kondisi ekonominya bertambah buruk. Sedangkan bagi nelayan tradisional yang tidak mampu membeli alat tangkap modern hanya 18 persen yang menyebutkan kondisi ekonominya membaik dan mencapai 57,4 persen dari responden yang menyatakan kondisinya justru semakin buruk. Begitu juga jika ditinjau dari sisi pertumbuhan volume dan nilai produksi, peningkatan yang dicapai tidak serta merta secara signifikan dinikmati pula oleh pelaku kecil (nelayan kelas grassroot) dalam sistem ekonomi modern. Iskandar dan Matsuda (1998) menyebutkan bahwa, margin yang jatuh ke tangan nelayan dan petani ikan hanya sekitar 5 hingga 10 persen saja. Selebihnya, jatuh pihak lain yakni, para tengkulak tingkat desa, pedagang tingkat lokal, dan pedagang tingkat regional. Sehingga bentuk pasar yang terjadi, cenderung bersifat monopoli dan monopsoni[5]

Apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat nelayan dengan program modernisasi, menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Karena, modernisasi yang secara ideologis seharusnya untuk mensejahterakan nelayan tradisional justru realitanya anomali. Karena itu, studi ini hendak mengisi wacana baru dalam sosiologi masyarakat nelayan dengan memfokuskan diri menelaah dinamika formasi sosial yang terjadi akibat modernisasi yang telah berlangsung. Pemahaman mendalam tentang modernisasi perikanan dengan pendekatan teori sosiologi, diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran dan informasi dalam upaya penyiapan tatanan kelembagaan untuk sebuah keberlanjutan pembangunan (revolusi biru) sehingga gerakan ini tidak mengulang “kegagalan” dari revolusi hijau yang ternyata menyisakan wujud ketimpangan antar petani di pedesaan (Damanhuri, 1996)

Salah satu wilayah yang menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai sektor andalan dalam pertumbuhan ekonominya adalah Sulawesi Selatan yang terdiri dari empat suku bangsa yaitu : Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Jumlah penduduknya tercatat sampai tahun 2004 sebanyak 8.342.083 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 4.100.687 jiwa (48,7%) dan perempuan 4.241.396 jiwa (51,3%). Dari jumlah penduduk tersebut, terdapat 354.007 jiwa merupakan nelayan dan 121.895 jiwa adalah petani ikan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi panjang garis pantai 2.500 km, perikanan laut 600.000 ton/tahun, perairan umum 40.000 ton/tahun, budidaya tambak 150.000 ha, budidaya air tawar 100.000 ha dan areal budidaya laut 600.000 ha. Disamping itu terdapat pula pulau-pulau kecil sebanyak 232 buah, terdiri dari pulau-pulau Sangkarang (Spermonde), Taka Bonerate dan pulau-pulau Sembilan di Pantai Timur (Dinas Perikanan dan Kelautan SULSEL, 2005).

Pengkajian mengenai masyarakat nelayan dan budaya bahari didaerah ini. Suku Bugis, Makassar dan Mandar, dengan aglomerasi wilayah daerah pesisir pantai, pulau-pulau dan pedalaman atau pegunungan representatif untuk dijadikan unit analisis, karena sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sementara untuk Suku Toraja hanya mendiami daerah pegunungan saja, sehingga masyarakatnya didominasi sebagai petani (Sallatang, 1976).

Modernisasi perikanan di Sulawesi Selatan, penggambaran secara kontekstual dimulai sejak akhir tahun 1970-an[6] (Orde Baru), kegiatan itu ditandai dengan pemberian bantuan kredit untuk motorisasi dan pembuatan perahu yang selanjutnya diiringi dengan pembenahan manajerial. Memasuki pertengahan tahun 1980-an modernisasi perikanan (motorisasi dan alat tangkap) mencapai puncak perkembangannya. Perahu tonase besar menggeser perahu tonase kecil dengan daerah tangkapan (fishing ground) meluas ke laut dalam (offshore), perahu layar tradisional sudah semakin sulit ditemukan dan beroperasi di wilayah pesisir. Penggunaan alat tangkap modern seperti gae (purse seine), rengge (jaring lingkar) dan panja (gill net) yang daya tangkapnya lebih besar karena peralatannya kompleks, juga semakin menyingkirkan penggunaan alat tangkap tradisional seperti bubu, pancing, jala, bagang, sero dan sebagainya (Salman, 1997).

Pada tahun 1990-an melalui paket program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah melalui Ditjen Perikanan sejak Pelita V (1991/1992 sampai 1997/1998), kembali memberikan paket bantuan yang meliputi sarana penangkapan (motorisasi dan alat tangkap), budidaya di 27 provinsi, sebanyak 14.574 unit dengan nilai investasi Rp. 84,820 milliar dengan sistem kredit lunak (Bakrie, 2000). Memasuki tahun 2000-an sebagai Orde Reformasi, kebijakan program modernisasi perikanan secara nasional lebih difokuskan kepada peningkatan kapasitas manajemen pengelolaan sumberdaya. Berbagai paket bantuan telah digulirkan mulai dari program Protekan, Gerbang Mina Bahari sampai kepada PEMP (Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir). Subtansinya lebih kepada bagaimana memfasilitasi tumbuh-kembangnya kultur kewirausahaan (entrepreneurs) pada masyarakat pesisir dengan sentuhan manajemen modern secara profesional tanpa meninggalkan tradisi, serta menanamkan budaya menabung (Kusumastanto, 2004).

Data statistik dari tahun ke tahun, menunjukkan berbagai kemajuan yang cukup signifikan kondisi usaha perikanan di Sulawesi Selatan. Hal tersebut dapat terlihat melalui perkembangan investasi, dan teknologi, terutama dari sisi produksi. Data Dinas Perikanan Sulawesi Selatan sepuluh tahun terakhir (1995 - 2005) memperlihatkan bahwa volume produksi perikanan darat dan laut yang pada tahun 1994 hanya 349.434 ton, pada tahun 2005 meningkat menjadi 505.642 ton, dimana 354.434 ton atau (71,08%) dihasilkan oleh perikanan laut. Komposisi perahu tangkap juga berubah kearah semakin besarnya porsi kapal motor, tercatat 2796 buah pada tahun 1995 berubah menjadi 5213 buah pada tahun 2005. Perahu motor (6133 buah tahun 1995 menjadi 7596 buah tahun 2005), sedang untuk perahu tak bermotor mengalami penurunan dari 24.067 buah menjadi 21.605 tahun 2004. Begitu pula dengan nilai produksi perikanan laut secara keseluruhan tercatat sekitar Rp. 241.891.892,- tahun 1995, mengalami kenaikan yang cukup signifikan di tahun 2005, sekitar Rp. 1. 121.923.580.

Namun, secara realitas kondisi nelayan tradisional sebagai kelompok yang paling berkepentingan dengan program modernisasi, juga memperlihatkan tampilan yang sebaliknya. Nelayan pesisir dan nelayan pulau di Sulawesi Selatan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan lebih banyak menentukan daerah penangkapannya berdasarkan pengetahuan turun temurun. Ironisnya, sumbangsih alternatif daerah penangkapan dan pengawasan jalur-jalur penangkapan yang selayaknya diberikan oleh pemerintah masih sangat sedikit dilakukan. Akibatnya, pengkonsentrasian aktivitas penangkapan ikan tidak dapat dihindari dengan bersandar kepada kemampuan investasi semata sehingga berbagai macam konflik antara kelompok-kelompok nelayan juga sebuah realitas. Bagi kelompok nelayan yang terpinggirkan akibat hal ini semakin terdesak, sehingga mereka terkadang menggunakan jalan pintas melalui illegal fishing (penggunaan bom, bius ikan dan sebagainya) dengan alasan yang sederhana demi mempertahankan hidup (Nur Indar, 2005).

Persoalan kesenjangan dalam stratifikasi sosial (struktur berdasarkan produksi) yang tercipta pasca modernisasi juga terpresentasikan dengan jelas, khususnya antara kelompok punggaha (kelompok yang menguasai fasilitas materil dan non materil) dan kelompok sahi (common people) sebagai kelas pekerja, terutama menyangkut perbedaan tingkat pendapatan dan kondisi kesejahteraan ekonomi yang mereka miliki. Hasil penelitian Lampe dan Salman (1993), Arief (2002), Agusanty (2004), menunjukkan bahwa perbedaan pendapatan punggawa dan sawi mencapai perbandingan 10-13 : 1. Salah satu contoh kasus bagi-hasil (sharing production) yang diteliti Arief (2002) terhadap kelompok nelayan pa’gae (purse seine) menunjukkan bahwa punggawa mendapat 66,7% dan sawi hanya mendapat 33,3% yang harus dibagi lagi berdasarkan jumlah sawi yang ikut terlibat (3,03% per-orang).

Oleh karena itu, fenomena diatas masih diyakini oleh beberapa peneliti sebagai salah satu faktor penyebab, mengapa hubungan patron-klien dalam kalangan masyarakat nelayan masih sangat terpresentasikan. Asumsi ini dilihat dari pertukaran material dan jasa yang tidak seimbang antara punggaha (patron) dan sahi (klien), sehingga ketergantungan sahi kepada punggaha masih cukup besar. Konteks ini dipertegas dari hasil temuan Salman (2002) bahwa kondisi masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan menunjukkan hubungan patron-klien masih sangat signifikan jika dibandingkan dengan masyarakat pertanian atau masyarakat perkotaan, sehingga kemajuan disisi produksi akibat modernisasi yang berlangsung belum diikuti sepenuhnya oleh pergeseran hubungan patron-klien ke hubungan industrial yang sifatnya kontraktual.



[1] Studi tentang aspek sosial ekonomi perikanan masih jarang dibandingkan dengan aspek biologis dan teknis. Karena itu studi sosial ekonomi sangat penting dalam upaya kinerja usaha perikanan baik budidaya maupun tangkap (Susan Petterson and Leah J. Smit, 1982).

[2] Istilah ini menurut dialek orang-orang Bugis Sinjai, namun istilah punggaha dijumpai pula dalam berbagai bahasa dan dialek pada suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan misalnya, ponggawa (Bugis), punggawa (Mandar), punggaha atau pungkaha (Selayar dan daerah-daerah perbatasan antara Makassar dengan Bugis dan sebagainya). Demikian pula dengan istilah sahi yang hampir pada umumnya menyebutnya dengan istilah sawi (Sallatang, 1983).

[3] Nelayan post-tradisonal menunjuk pada nelayan yang sudah mulai menggunakan alat modern (seperti motor tempel) tetapi belum dapat dikategorikan nelayan modern karena skala usaha, organisasi kerja, dan budaya kerja masih identik dengan nelayan tradisional

[4] Trickle down process adalah sebuah asumsi bahwa dalam proses menuju kemakmuran, maka tiap-tiap negeri akan mengalami pertumbuhan secara terbatas yaitu pada sektor-sektor tertentu yang telah memenuhi syarat untuk tumbuh, dalam proses mana akan tidak bisa dihindari terjadinya ketidaksamaan pertumbuhan (uneven development), namun dalam jangka panjang proses ini akan merembes kebawah yang akan dinikmati hasilnya oleh semua lapisan masyarakat (Sasono, 1980)

[5] Konteks ini dilihat dari nelayan dalam jumlah yang banyak berhadapan dengan penjual faktor produksi yang sedikit. Sementara hasil produksinya, nelayan yang banyak harus berhadapan dengan jumlah pedagang ikan yang sedikit. Struktur pasar yang demikian ini menyebabkan nelayan harus memperoleh faktor produksi dengan harga mahal, dan menjual hasil produksi dengan harga yang murah.

[6] Program pembangunan pertengahan 1970-an yang menjangkau hampir semua kawasan pedesaan di Sulawesi Selatan adalah “Program Lappo Ase” (Program Ledakan Produksi Padi) sebagai bagian dari gerakan Revolusi Hijau tingkat nasional. Introduksi teknologi dan infut kimia bahan pertanian diperkenalkan dan dikembangkan melalui peranan penyuluh, akademisi, birokrat bahkan aparat keamanan. Di bidang perikanan pada akhir 1970-an, modernisasi penangkapan digerakkan melalui pengalokasian kredit pengadaan perahu bermesin dan alat tangkap modern melalui wahana KUD-Mina. Dua gerakan pembangunan ini, ditambah dengan pembangunan infrastruktur jalan, yang merupakan determinan awal perkembanan investasi, teknologi dan manajemen dalam dinamika ekonomi pedesaan di Sulawesi Selatan (Salman, 2002).